Jadi Yang Terbaik Itu Melelahkan

Waktu saya main- main ke rumah seorang kenalan, saya mendapati kenalan saya itu sedang duduk di sofa depan dengan ekspresi serius, kaki terbuka, kedua tangan ditopangkan ke bawah dagu, alis mengerenyit, dan mata memandang lurus ke depan, seakan lagi memikirkan masalah masa depan yang terberat di dunia. Di tangannya ada sesosok buku yang memancarkan aura nggak enak, rapor anaknya.

Di depannya, anaknya lagi duduk dengan ekspresi kagok yang sama. Merasa bersalah dan merasa takut. Seakan sudah menjalani hidup penuh nista dan kegagalan di mata bapaknya. Di belakangnya istrinya tetap nonton sinetron dengan volume dikecilin, supaya nggak ngeganggu konsentrasi galau suami dan anaknya. TV sampai dipeluk dan kuping ditempelkan supaya dia bisa dengar apa kata tokoh yang lagi melotot sambil ngomong dalam hati di layar kaca itu.

Jadi saya pun memberanikan bertanya dengan hati- hati, sehati- hati saya mencolek istri saya kalau dia lagi… ehm.. datang masa galaknya…

“Eh eh, ada apa nih mas?” colek saya sambil menjaga jarak.

“Oh coach. Ini lhoo coach, anak saya”

“Kenapa anaknya?”

“Rapornya…” kata dia sambil menghela napas panjaaang.

“Rapornya?”

“Cuman peringkat 5 di kelasnya” katanya beraaat banget.

“Eh? Dari berapa siswa?”

“Dari 40 siswa”

“Yaeeelaaaaaaaahh, cukup baik kaliii”

“Seharusnya dia nomor satuuuu nomor satuuu!” teriak dia lantang lebih heboh dari tokoh sinetron. “Dia harus jadi yang TERBAIK dari yang terbaik dari yang terbaik dari yang terbaiiik!” katanya seakan bergema.

“Oh emji”.

Walau mungkin nggak sedramatis ini, tapi beginilah kisah yang terjadi sehari- hari. Sangat banyak orang yang selalu menganggap bahwa dia, atau anaknya, atau istrinya, harus jadi yang TERBAIK! Istilah favorit mereka yang mereka pakai lebih sering dari kata Amin dalam doa, adalah “Better”, “Best”, “Greater”, atau “Greatest”! Kutipan favorit mereka adalah “Juara cuma satu, ga ada yang namanya juara dua. Juara dua adalah loser nomer satu”, kata mereka.

Tapi Anda tahu? Jadi yang terbaik itu MELELAHKAN.

Ketika kita berusaha jadi yang ‘terbaik’, kata ini memberi implikasi dan makna bahwa kita HARUS mengalahkan SEMUA orang lain. karena ketika ada, bahkan satu orang lain pun yang lebih baik dari kita, maka kita sudah GAGAL.

Ketika kita memandang dunia seperti ini, maka ini memberi implikasi bahwa semua orang adalah pesaing, bahkan MUSUH yang harus dikalahkan, ditundukkan, dan diletakkan di bawah kita.

Ketika kita memandang situasi seperti ini, ini memberi implikasi bahwa hidup adalah ‘peperangan’, menghancurkan atau dihancurkan. Menang atau kalah. Dan ini sering membawa beberapa orang dalam mindset ‘menghalalkan segala cara’.

Dan yang paling berbahaya, ketika kita hidup dengan cara seperti ini, apakah kita masih bisa MENIKMATI hidup? Apa kita bisa tenang dalam hidup yang selalu dibayangi ketakutan menjadi nomor dua?

Jadi yang terbaik itu melelahkan, karena pesaing kita adalah milyaran orang lainnya di dunia, dan kita menggantungkan kebahagiaan hidup pada ‘kegagalan’ mereka.

Seorang saudara saya, merasa harus jadi yang terbaik diantara teman- temannya dalam hal materi. Jadi setiap temannya beli gadget baru, dia harus beli yang lebih baru lagi! Ketika temannya ganti mobil, dia harus ganti mobil lagi! Ketika teman anaknya beli PS3 dulu, dia langsung beliin anaknya PS3 DAN Xbox! Ketika temannya ganti istri, nahhh.. yang ini saya ga tau dah…

Kalau begini, bukannya kita malah hidup didikte orang lain?

Kalau saya pribadi, saya tidak berusaha menjadi yang terbaik. Berusaha menjadi yang terbaik itu sia- sia, dan membuat menderita. Saya tidak berusaha jadi ‘better’ atau ‘best’ atau ‘greater’ dan ‘greatest’, saya hanya berusaha untuk menjadi GREAT dan AMAZING, LUAR BIASA dan FANTASTIK dalam apapun hal yang saya lakukan.

Saya tidak MEMBANDINGKAN diri saya atau ‘ranking’ saya dengan orang lain. Satu- satunya perbandingan yang boleh Anda lakukan adalah perbandingan dengan diri Anda sendiri sebelumnya!

Ingat, ada dua cara untuk memiliki bangunan tertinggi di dunia. Yang pertama, dengan menyaingi dan menghancurkan gedung- gedung tinggi lainnya yang menyaingi Anda, dan yang kedua dengan memusatkan diri membangun setinggi- tingginya gedung Anda, tanpa perlu mengkhawatirkan gedung lainnya.

I’m great and that’s enough! Saya tidak perlu orang lain gagal untuk saya bisa sukses.

Kita semua bisa sukses bersama- sama!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *