Serunya berkarya dalam profesi saya, adalah saya terus menerus bertemu berbagai jenis orang yang berbeda- beda, dari latar belakang yang berbeda, mimpi yang berbeda, dan rentang usia yang berbeda pula.
Jadi dalam proses mondar mandir seperti satpam dari satu area dan event ke yang lainnya, saya bertemu dan mendapat kesempatan mencolek- colek anak- anak sekolah, mahasiswa, first jobber, usia pekerja produktif, hingga usia senior yang menjelang pensiun.
Dan setelah bertemu mereka semua dalam jumlah yang cukup banyak dan konsisten, saya jadi menyadari beberapa pola yang ada dalam berbagai kalangan usia ini.
Ternyata, di luar dugaan saya, walau setiap anak kecil pra- sekolah memahami persis apa yang disukainya, tapi anak- anak sekolah – yang saya pikir bakal paling vokal soal Passion dan ‘keinginannya’ – justru termasuk mereka yang punya kesadaran akan Passion paling rendah! Mereka yang duduk di bangku SMA relatif tidak tahu, bahkan tidak PERDULI soal Passion, dan soal apa yang mereka SUKA dan mau mereka lakukan ke depannya!
Anak- anak sekolah hingga SMA masih menjalankan proses belajarnya seperti sedang duduk di rakit yang di dorong oleh orang tuanya ke sungai, dan cuma duduk santai mengikuti arus proses yang ‘alami’, yang dalam bahasa mereka, ‘semua juga kayak gini kok’.
Rata- rata nilai kesadaran akan Passion mereka mungkin hanya 3/10.
Lalu beranjak kuliah, para mahasiswa, mulai memahami soal konsep Passion, tapi rata- rata masih belum mengetahui soal Passion mereka, dan mereka bimbang antara Passion dan pilihan masyarakat, atau trend, atau bahkan pilihan orang tua. Mahasiswa yang mulai harus mempersiapkan dirinya dalam memilih profesi, mulai menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari apa yang mereka suka dan sebenarnya ingin lakukan.
Terlepas dari jurusan apa yang mereka pilih, apakah sesuatu yang mereka suka atau terpaksa, kesadaran akan Passion mereka mungkin bisa diberi nilai rata- rata 6/10.
Ketika lulus, mereka baru menyadari bahwa kebanyakan dari mereka ‘saljur’, atau malah, berdiri bengong, karena nggak tahu sekarang mau melangkah ke mana. Dan saat ini, saya melihat bahwa arah para fresh graduate dan first jobber ini mulai terpecah dan terbelah. Sebagian akan mencari pekerjaan apapun yang bisa mereka temukan; sebagian lagi akan langsung melanjutkan kuliah S2, walau tanpa bayangan jelas mau kemana setelahnya; dan sebagian lagi akan turun ke jalanan, mencari figure panutan, atau bereksperimen mencari bidang yang cocok dengan mereka.
Nilai kesadaran Passion untuk mereka meningkat lagi. Ini adalah masa dimana mereka sedang tinggi- tingginya penasaran soal Passion dan Profesi. Nilai mereka mungkin sekitar 8/10.
Ketika mereka sudah bertahun- tahun, atau berbelas tahun bekerja, mereka resmi menjadi dewasa. Akhirnya masa jenuh mulai menerpa, bayangan usia pensiun mulai mendekat, dan kegalauan mulai muncul kembali, pertanyaan kayak “Apa udah bener ini jalan saya?” “Apa saya beneran mau melakukan ini sampai pensiun?” mulai menghantui seakan ada yang bakar menyan di meja kerja. “Apa ini memang pekerjaan yang BERMAKNA buat saya?”
Di sini, para pekerja produktif kita terbagi dua. Mereka yang memasuki masa denial, menolak mengakui bahwa mereka sudah bertahun- tahun ‘salah jurusan’, dan mereka yang mau melakukan career shifting ke profesi yang lebih ideal.
Mereka yang denial, akan memiliki nilai kesadaran Passion sekitar 4/10 hampir seperti anak SMA, mereka tidak perduli dan tidak mau mikirin, daripada kesel sendiri. “Terlanjur basah”, jadi lagu dangdut favorit mereka.
Mereka yang mau melakukan career shift, atau menyadari bahwa dia sudah berada di profesi ideal, memiliki nilai kesadaran tertinggi, 9/10 atau bahkan 10/10!
Nah, akhirnya, ketika usia pensiun, beberapa peserta seminar di program persiapan pensiun saya menunjukkan fenomena yang sangat menarik. Beberapa, bahkan cukup banyak dari mereka yang menunjukkan nilai kesadaran Passion tertinggi 10/10! Mereka mencari dan memahami pentingnya MAKNA dalam hidupnya.
TAPI, di sini muncul ironinya, walau tingkat kesadaran akan Passion mereka sangat tinggi, stamina, kesehatan, kepercayaan diri untuk bersaing di dunia anak muda, ego (dan post power syndrome), dan kemauan untuk mencoba dan mempelajari hal barunya sudah berkurang jauh!
Ini membuat hanya sebagian kecil dari mereka yang ingin take action, sementara yang lainnya berpendapat,”Tinggal nyante- nyante aja paaak, nikmati hari sajalah sekarang mahhh…” dan melupakan Passionnya sama sekali.
Apakah inilah pola ironi dalam kesadaran Passion?
Mereka yang muda, yang punya waktu dan tenaga untuk membangun impian sesuai Passionnya, TIDAK SADAR akan pentingnya dan MAKNA dan Passion dalam perjalanan mereka…
Sementara mereka yang sadar akan pentingnya MAKNA dan Passion, seringkali sudah tidak memiliki tenaga untuk melakukan itu.
Saya yakin, tidak ada kata terlambat untuk Passion, dan Passion akan lebih baik bila dimulai SESEGERA mungkin!
Hahaha, iya kebanyakan anak sma seperti itu, apalagi sekarang ya, Pak. Banyak banget deh! Saya lihat anak-anak sebenarnya pengennya, bikin ortu bangga.
Karena, justru karena nggak mau bikin ortu kecewa jadi malah dipendam di sendiri, takutnya passionnya ngga sejalan dengan kemauan ortu. Takut ditolak, takut nantinya jadi ngga sesuai harapan ortu meski disetujui, dll. Meski, banyak juga yang mengalir masuk ke jurusan yang sebenarnya nggak cocok sama passion ato bakat, gara2nya emang lgi tren-lah, ato temen.
Padahal, menurut saya sih, kuliah harus disesuaikan dengan passion.
Dan saya melihat, ini dikarenakan anak sama sekali tidak dikembangkan atau diarahkan oleh orang tua untuk menemukan passion mereka.
Karena, bagaimana pun kadangkala, kita tidak mampu mengetahui kelebihan kita. Dan, hanya orang lain yang bisa melihatnya, termasuk orang yang selalu mendampingi anak-anak ini, yaitu orang tua.
Disisi lain, ortu sebenarnya, jujur hanya cemas dengan masa depan, tapi karena kurangnya komunikasi dan keterbukaan antara keduanya, jadi tidak saling memahami.
Saya merasa beruntung.
Saya dari saya kecil sudah tahu mau jadi apa nanti saat besar bahwa saya ingin menjadi seniman. Orang tua awalnya skeptis dengan keinginan saya menjadi seniman ini.
tapi, bertahun-tahun, dengan pendirian dan komunikasi antara kami di tiap kesempatan, dengan bercerita seputar dunia yang ingin aku tekuni, mereka akhirnya mulai paham. Seperti, mengenai desain, karir dan kerjaan desainer itu apa.
Ditambah saya juga kerap melibatkan mereka dalam aktivitas saya, kalau lagi tidak bersama dengan teman-teman. Jadi mereka turut untuk merasakan. Saya sih nggak memaksa, hanya mengajak mereka ikutan saja tapi ya mereka sendiri yang bersedia.
Jadi, saat kuliah, ketika ingin masuk jurusan seni dan desain, ortu saya mendukung penuh bahwa jurusan seni adalah pilihan yang tepat bagi saya.
Dan saya beruntung karena saya ada tujuan, sementara diluar sana banyak anak yang bingung ingin masuk kemana.